Konsekuensi Syahadat

قال الله سبحانه وتعالى:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS Al-A’raf[7]: 172)

Sahabat, secara fitrah, semua manusia beragama Islam. Hal ini bermula ketika manusia mengadakan perjanjian dengan Allah SWT dengan mengucapkan kalimat syahadat di alam azali, jauh sebelum ia dilahirkan ke dunia. Perjanjian itu telah diabadikan di dalam Al-Qur’an. Subhanallah..!!

Kalimat “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” pada firman Allah SWT di atas adalah sebagai bukti kesaksian manusia tentang penetapan Allah SWT sebagai Tuhannya. Ucapan syahadat (persaksian) itu mempunyai suatu konsekwensi: bahwa sebagai hamba Allah SWT, kita menerima dengan pasrah dan ridha apa yang Dia takdirkan, melaksanakan segala yang Dia perintahkan, dan menjauhi semua yang Dia larang.

Kepasrahan inilah inti ajaran Islam, sehingga kita akan dengan mudah melaksanakan ibadah apa pun yang diperintahkan, tanpa ada rasa terpaksa sedikit pun. “Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS Al-An’am[6]: 79).

Sebaliknya, kalau seorang Muslim tidak komitmen pada ucapan syahadatnya, maka ia akan melalaikan segala perintah Allah SWT. Atau, meski pun ia tetap melaksanakan perintah itu, pasti dengan rasa terpaksa, sehingga ibadahnya tidak sempurna.

Fanomena seorang Muslim yang enggan melaksanakan salat, puasa, zakat dan haji adalah sebagai bukti tidak adanya komitmen atas ucapan syahadatnya. Padahal, hakikatnya, semua ritual ibadah yang Allah SWT perintahkan itu adalah kebutuhan spiritual hatinya, sebagaimana butuhnya perut terhadap makanan. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS Al-Fathir[35]: 15).

Kuncinya adalah keikhlasan. Dari keikhlasan ini, seorang Muslim akan melakukan semua perintah Allah SWT, tanpa peduli apakah hukumnya wajib atau sunnah. Ia juga akan menjauhi segala larangan-Nya, tanpa bertanya apakah hukumnya haram atau makruh.

Bahkan, pada tingkatan iman tertentu, ia tidak akan lagi menganggap kepatuhan pada Allah SWT itu sebagai konsekwensi dari syahadat yang pernah ia ikrarkan, tapi sebagai kebutuhannya yang harus terpenuhi. Kalau tidak terpenuhi, akan ada rasa bersalah, sedih dan gundah dalam hatinya.

Pada akhirnya, ia sadar, bahwa konsekwensi yang ia terima setelah ucapan syahadat itu tidak akan melebihi keterbatasannya sebagai manusia.

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS Al-Baqarah[2]: 286).

Categories: Tadabbur Ayat | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.